Akad Jual Beli Salam: Konsep dan Praktiknya di Perbankan Syariah

Daftar Isi

Secara etimologis salam berasal dari kata aslama ast-tsauba lil khiyat, artinya ia memberikan atau menyerahkan pakaian untuk dijahit. Dikatakan salam karena orang yang memesan menyerahkan harta pokoknya dalam majelis. 

Dikatakan salam karena ia menyerahkan uangnya terlebih dahulu sebelum menerima barang dagangannya (Pesanannya). Salam termasuk kategori jual beli yang sah jika memenuhi persyaratan keabsahan jual beli pada umumnya.

Sedangkan secara terminologis salam adalah akad jual beli di mana pembeli melakukan pembayaran di muka (In Front Payment Sale) untuk barang yang akan diserahkan di masa mendatang oleh penjual. 

Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, salam adalah jasa pembiayaan yang berkaitan dengan jual beli yang pembiayaan nya dilakukan bersamaan dengan pemesanan barang.


Rukun dan Syarat Salam

Adapun Rukun salam menurut para ulama ada tiga yaitu, sebagai berikut:

  1. Shigat, adanya ijab dan Kabul
  2. Aqidani (dua orang yang melakukan transaksi), yaitu orang yang memesan dan orang yang menerima pesanan.
  3. Objek transaksi, yaitu harga dan barang yang dipesan.

Adapun syarat-syarat salam yaitu, sebagai berikut:

  1. Uangnya dibayar ditempat akad,  berarti pembayaran dilakukan terlebih dahulu
  2. Barangnya menjadi utang bagi penjual.
  3. Barangnya dapat diberikan sesuai waktu yang dijanjikan, berarti pada waktu dijanjikan barang itu harus sudah ada. Oleh karenanya, membuat akad salam untuk buah-buahan yang waktunya ditentukan bukan pada musimnya maka tidak sah.
  4. Barang tersebut hendaklah jelas ukurannya, takarannya, ataupun bilangannya, menurut kebiasaan cara menjual barang semacam itu.
  5. Diketahui dan disebutkan sifat-sifat dan macam barangnya,  dengan jelas, agar tidak ada keraguan yang tidak akan mengakibatkan perselisihan antara kedua belah pihak. Dengan sifat itu, berarti harga dan kemauan orang pada barang tersebut dapat berbeda.
  6. Disebutkan tempat menerimanya.

Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Pasal 101 s/d 103, bahwa syarat salam adalah sebagai berikut:

  1. Kualitas dan kuantitas barang sudah jelas, Kuantitas barang dapat diukur dengan takaran, atau timbangan dan meteran.
  2. Spesifikasi barang yang di pesan harus diketahui secara sempurna oleh para pihak.
  3. Barang yang dijual, waktu dan penyerahan dinyatakan dengan jelas.
  4. Pembayaran barang dapat dilakukan pada waktu dan tempat yang disepakati


Dasar Hukum Salam

Adapun dasar hukum salam terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadist yaitu, sebagai berikut:

Akad salam didasarkan pada beberapa dalil dari Al-Qur'an dan Hadis. Salah satunya adalah firman Allah SWT dalam Qs. Al-Baqarah ayat 282 yang berbunyi "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya..." 

Selain itu, Rasulullah SAW juga pernah bersabda mengenai akad salam dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a “ Bahwa Rasulullah SAW datang ke Madinah dimana penduduknya melakukan salaf (salam) dalam buah-buahan (untuk jangka waktu) satu, dua dan tiga tahun. Beliau berkata “ Barang siapa yang melakukan salaf (salam), hendaklah ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang ditentukan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam Hadist lain Dari Shihab r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda “ Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan yaitu, jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah)


Salam Pararel

Salam pararel berarti melaksanakan dua transaksi ba’I al-salam antara Bank dan Nasabah, dan diantara bank dan pemasok (supplier) atau pihak ketiga lainnya secara simultan.

Dewan pengawas syariah Rajhi Banking & Investment Coorporation telah menetapkan fatwa yang membolehkan praktik salam pararel dengan syarat pelaksanaan transaksi salam kedua tidak bergantung pada pelaksanaan akad salam yang pertama. Salam pararel diatur juga dalam fatwa DSN MUI No. 05/DSN-MUI/IV/2000.


Perbedaan jual beli salam dengan jual beli biasa

Perlu anda ketahui, bahwa syarat-syarat dasar suatu akad jual beli biasa masih tetap sama seperti halnya pada akad jual beli salam. Namun ada beberapa perbedaan diantara keduanya, berikut penjelasannya:

  1. Didalam jual beli salam, perlu ditetapkan priode/waktu pengiriman barang, yang mana dalam jual beli biasa tidak perlu.
  2. Dalam jual beli salam, komoditas yang tidak dimiliki oleh penjual dapat dijual, yang mana dalam jual beli biasa tidak dapat dijual
  3. Dalam jual beli salam, hanya komoditas yang secara tepat dapat ditentukan kualitas dan kuantitasnya dapat dijual, yang dalam jual beli biasa, segala komoditas yang dapat dimiliki bisa dijual. Kecuali yang dilarang oleh Al-Qur’an dan Hadist.
  4. Dalam jual beli salam, pembayaran harus dilakukan ketika membuat kontrak, yang dalam jual beli biasa, pembayaran dapat ditunda atau dapat dilakukan ketika pengiriman barang berlangsung.

Kesimpulannya, bahwa aturan awal pelarangan jual beli yaitu tidak adanya barang, telah dihapuskan dengan pertimbangan kebutuhan masyarakat terhadap kontrak salam.


Perbedaan salam dengan Ijon

Ada beberapa perbedaan mengenai jual beli salam dengan ijon, Oleh karenanya, untuk mengetahui apa saja perbedaan tersebut, kita dapat memahaminya terlebih dahulu secara spesifik dengan menelisik definisi antara salam dan ijon.

Banyak orang yang berpendapat bahwasannya jual beli salam sama saja dengan jual beli ijon, tetapi faktanya jual beli salam dan ijon sangatlah berbeda.

Yang mana jika di telisik Ijon adalah praktik jual beli yang dilakukan terhadap barang atau hasil pertanian yang belum siap panen. Pembeli membayar uang muka atau seluruh harga barang kepada penjual (biasanya petani) sebelum barang tersebut dipanen. 

Praktik ijon sering kali tidak menentukan secara pasti kualitas atau kuantitas barang yang akan diterima oleh pembeli, dan biasanya dilakukan dengan harga yang jauh lebih rendah daripada harga pasar.

Contoh: Seorang tengkulak membeli seluruh hasil panen padi dari seorang petani dengan harga yang sudah ditetapkan jauh sebelum padi tersebut dipanen, tanpa mengetahui secara pasti berapa jumlah padi yang akan dihasilkan dan tanpa memerhatikan kondisi tanaman pada saat itu.

Secara konsepnya, Dalam jual beli ijon, barang yang dibeli tidak diukur atau ditimbang secara jelas dan spesifik. Demikian pula penetapan harga beli, sangat bergantung pada keputusan sepihak si tengkulak yang sering kali dominan dan menekan petani yang posisinya lebih lemah.

Adapun transaksi ba’I al-salam mengharuskan adanya dua hal sebagai berikut:

  1. Pengukuran dan spesifikasi harga. Hal ini tercermin dalam hadist Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, “ Barang siapa yang melakukan transaksi salaf (salam), hendaklah ia melakukan dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang jelas pula.
  2. Adanya keridhoan yang murni antara kedua belah pihak, Hal ini terutama dalam menyepakati harga. Allah SWT Berfirman, “ Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu


Pembiayaan Salam pada Perbankan Syariah

Salam adalah transaksi jual beli dimana barang yang diperjual belikan belum ada. Oleh karena itu, barang diserahkan secara tangguh, sementara pembayaran dilakukan tunai. Bank bertindak sebagai pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Sekilas transaksi ini mirip dengan transaksi ijon. Namun dalam transaksi salam kualitas, kuantitas, harga dan waktu penyerahan barang harus ditentukan secara pasti.

Dalam praktik perbankan, ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka bank akan menjual nya kepada rekanan nasabah atau nasabah itu sendiri secara tunai atau secara cicilan. Harga jual yang ditetapkan oleh bank adalah harga beli bank dari nasabah ditambah keuntungan. Dalam hal ini bank menjualnya secara tunai biasanya kita sebut dengan pembiayaan talangan (Bridging financing). Adapun dalam hal bank menjualnya secara cicilan, kedua pihak harus meyepakati harga jual dan jangka waktu pembayarannya.

Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Pada umumnya transaksi ini diterapkan dalam pembiayaan barang yang belum ada seperti pembelian komoditas pertanian oleh bank untuk kemudian dijual kembali secara tunai atau secara cicilan.

Adapun ketentuan umum pembiayaan salam yaitu, sebagai berikut:

  1. Pembelian hasil produksi harus diketahui spesifikasinya seca jelas seperti jenis, macam, ukuran, mutu dan jumlahnya. Misalnya jual beli kentang 100kg kualitas (A+) dengan harga Rp. 10.000 ,/ Kg, akan diserahkan pada panen dua bulan mendatang.
  2. Apabila hasil produksi yang diterima cacat atau tidak sesuai dengan akad, maka nasabah (produsen) harus bertanggung jawab dengan cara mengembalikan dana yang telah diterimanya atau mengganti barang yang sesuai dengan pesanan.
  3. Mengingat bank tidak menjadikan barang yang dibeli atau dipesannya sebagai persediaan (inventory), maka dimungkinkan bagi bank untuk melakukan akad salam kepada pihak ketiga (pembeli kedua), seperti Bulog, pedagang pasar induk atau rekanan, maka mekanisme ini disebut pararel salam.

 

Ringkasan tahapan akad salam dan salam pararel menurut SOP Bank Syariah

No. Tahapan

1.

Adanya permintaan barang tertentu dengan spesifikasi yang jelas, oleh nasabah pembeli kepada Bank Syariah sebagai penjual

2.

Wa’ad nasabah untuk membeli barang dengan harga dan waktu tangguh pengiriman barang yang disepakati.

3.

Mencari produsen yang sanggup menyediakan barang yang dimaksud (sesuai batas waktu yang disepakati dengan harga yang lebih rendah)

4.

Pengikatan I antara Bank sebagai penjual dan nasabah pembeli, untuk membeli barang dengan spesifikasi tertentu yang akan diserahkan pada waktu yang telah ditentukan.

5.

Pembayaran oleh nasabah pembeli dilakukan sebagian di awal akad dan sisanya sebelum barang diterima (sisanya disepakati untuk diangsur).

6.

Pengikatan II antara Bank sebagai pembeli dan nasabah produsen untuk membeli barang dengan spesifikasi tertentu yang akan diserahkan pada waktu yang telah ditentukan.

7.

Pembiayaan dilakukan segera oleh bank sebagai pembeli kepada nasabah produsen pada saat pengikatan dilakukan.

8.

Pengiriman barang dilakukan langsung oleh nasabah produsen kepada nasabah pembeli pada waktu yang ditentukan.

 

Contoh akad salam yang diterapkan oleh Bank Syariah

Produk/jasa Akad
Pertanian Salam


Kesimpulan

Akad salam adalah salah satu bentuk jual beli yang diatur dalam hukum Islam, yang memungkinkan pembeli untuk memesan barang yang belum ada dengan membayar harga penuh di muka. Barang tersebut akan diserahkan oleh penjual pada waktu yang telah disepakati di masa mendatang,

Dengan spesifikasi yang jelas mengenai kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan. Akad salam dianggap adil dan sah dalam Islam karena memastikan adanya kepastian dalam transaksi, menghindari ketidakpastian (gharar), dan memastikan bahwa kedua belah pihak memahami hak dan kewajibannya.

Dalam perbandingan dengan praktik ijon, akad salam menunjukkan perbedaan yang signifikan terutama dalam hal kepastian barang dan keadilan bagi kedua belah pihak. Sementara salam disusun dengan prinsip keadilan dan kejelasan, ijon sering kali mengandung eksploitasi dan ketidakpastian yang dapat merugikan salah satu pihak, khususnya penjual yang lebih lemah.

Secara keseluruhan, akad salam adalah bentuk transaksi yang memungkinkan keuntungan bagi kedua pihak dengan tetap mematuhi prinsip-prinsip syariah, dan berbeda jelas dengan ijon yang dilarang dalam Islam. Ini menunjukkan bagaimana Islam menawarkan solusi yang adil dan berkelanjutan dalam kegiatan ekonomi dan perdagangan.


Reference

- Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Ensiklopedia Muamalah,(Yogyakarta: Maktabah al-Hanif, 2009). hal. 137

- Dewi Gemala, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 114

- Muhammmad Syafi'i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik,( Jakarta: Gema Insan Press, 2001). hal. 110

- Muhammad Tohir Mansori, Kaidah-kaidah Fiqg Keuangan dan Transaksi Bisnis, Penerjemah: Hendri Tanjung dan Aini Aryani, (Bogor: Ulil Albab Institute, 2010), hal. 89

- Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: Rajawali Press, 2008)

- Bukhari, Standarisasi Akad Bagi Perbankan Syariah, Laporan Hasil Kajian, Direktorat Perbankan Syariah, 2004), dikutip Oleh Ascarya.,hal. 226

Posting Komentar