Mengenal Transaksi Muzara'ah dan Implementasinya dalam Pertanian Islam
Secara etimologis,"muzara'ah" berasal dari bahasa Arab "زرع" (zar'a) yang berarti "menanam" atau "bertani". Kata ini mencerminkan aktivitas dasar dalam pertanian, yaitu menanam benih di lahan pertanian dengan harapan akan menghasilkan tanaman yang bermanfaat.
Sedangkan secara terminologis muzara'ah adalah suatu bentuk
kerja sama antara pemilik tanah (malik) dan petani (muzari'), di mana pemilik
tanah menyerahkan lahan miliknya kepada petani untuk digarap, dengan
kesepakatan bahwa hasil panen akan dibagi antara keduanya sesuai dengan rasio
yang telah disepakati.
Secara konseptual Al-Muzara’ah (Harvest Yield Profit Sharing) sering kali diidentikkan dengan mukhabarah, diantara keduanya ada sedikit perbedaan sebagai berikut:
- Muzara’ah : benih dari pemilik lahan
- Mukhabarah : benih dari penggarap
Contoh Muzara'ah
Misalnya, seorang pemilik tanah memiliki lahan sawah tetapi
tidak memiliki waktu atau keterampilan untuk mengolahnya. Ia bisa membuat akad
muzâra'ah dengan seorang petani. Mereka sepakat bahwa setelah panen, hasil
gabah dibagi dengan persentase 60% untuk petani dan 40% untuk pemilik tanah.
Dasar hukum muzara’ah
Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW pernah
membelikan tanah khaibar kepada penduduknya untuk digarap dengan imbalan
pembagian hasil buah-buahan dan tanam-tanaman.
Diriwayatkan oleh Bukhari dari Jabir yang mengatakan bahwa
bangsa Arab senantiasa mengola tanahnya secara muzara’ah dengan rasio bagi
hasil 1/3, 2/3, 1/4, 1/2 : 1/2 , maka Rasulullah SAW bersabda: “ Hendaklah
menanami atau menyerahkannya untuk digarap. Barang siapa yang tidak melakukan
salah satu dari keduanya, tahanlah tanahnya.”
Bukhari mengatakan bahwa telah berkata Abu Jafar, “ Tidak ada satu pun di Madinah kecuali penghuninya mengola tanah secara muzara’ah dengan pembagian hasil 1/3 dan 1/4. Hal ini dilakukan oleh Sayyidina Ali, Sa’ad bin Waqash, Ibnu Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, Qasim, Urwah, Keluarga Abu Bakar dan Keluarga Ali.
Rukun muzara’ah
Adapun Rukun muzara’ah yaitu, sebagai berikut:
- Pemilik Lahan
- Panggarap
- Lahan yang digarap
- Akad
Ketentuan Muzara’ah
Syarat-syarat ketentuan muzara’ah adalah sebagai berikut:
- Pemilik lahan harus menyerahkan lahan yang akan digarap kepada pihak yang akan menggarap
- Penggarap wajib memiliki keterampilan bertani dan bersedia menggarap lahan yang diterimanya
- Penggarap wajib memberikan keuntungan kepada pemilik lahan bila pengelolaan yang dilakukan menghasilkan keuntungan
- Akad muzara’ah dapat dilakukan secara mutlak dan terbatas
- Jenis benih yang akan ditanam dalam muzara’ah terbatas harus dinyatakan secara pasti dalam akad, dan diketahui oleh penggarap.
- Penggarap bebas memilih jenis benih tanaman untuk ditanam dalam akad muzara’ah mutlak.
- Penggarap wajib memerhatikan dan mempertimbangkan kondisi lahan, keadaan cuaca, serta cara yang memungkinkan untuk mengatasinya menjelang musim tanam.
- Penggarap wajib menjelaskan perkiraan hasil panen kepada pemilik lahan dalam akad muzara’ah mutlak
- Penggarap dan pemilik lahan dapat melakukan kesepakatan mengenai pembagian hasil pertanian yang akan diterima oleh masing-masing pihak.
- Penyimpangan yang dilakukan penggarap dalam akad muzara’ah, dapat mengakibatkan batalnya akad itu.
- Seluruh hasil panen yang dilakukan oleh penggarap yang melakukan pelanggaran (penyimpangan). Menjadi milik pemilik lahan.
- Dalam hal penggarap melakukan pelanggaran, pemilik lahan dianjurkan untuk memberikan imbalan atas kerja yang telah dilakukan penggarap.
- Penggarap berhak melanjutkan akad muzara’ah jika tanaman nya belum layak panen, meskipun pemilik lahan telah meninggal dunia.
- Ahli waris pemilik lahan wajib melanjutkan kerja sama muzara’ah yang dilakukan pihak yang meninggal, sebelum tanaman pihak penggarap bisa dipanen.
- Hak penggarap lahan dapat dipindahkan dengan cara diwariskan bila penggarap meninggal dunia, sampai tanamannya bisa di panen.
- Ahli waris penggarap berhak untuk meneruskan atau membatalkan akad muzara’ah yang dilakukan oleh pihak yang meninggal dunia.
Implementasi Muzara'ah dalam Ekonomi Islam
Dalam implementasinya, muzara'ah sering digunakan sebagai solusi
bagi petani yang tidak memiliki lahan atau modal yang cukup untuk menggarap tanah.
Sistem ini memungkinkan petani untuk bekerja dan mendapatkan penghasilan,
sementara pemilik tanah juga mendapat manfaat dari hasil panen tanpa harus
menggarap tanahnya sendiri.
Keuntungan Muzara'ah
Adapun keuntungan yang bisa didapat dari akad Muzara'ah ini yaitu:
- Keadilan Ekonomi, Muzara'ah mendorong distribusi sumber daya yang lebih merata antara pemilik lahan dan petani. Kedua belah pihak mendapatkan bagian yang adil dari hasil panen berdasarkan kontribusi masing-masing.
- Pemberdayaan Petani, Sistem ini membantu petani kecil yang tidak memiliki lahan untuk tetap produktif dan berpartisipasi dalam ekonomi, mengurangi tingkat kemiskinan di pedesaan.
- Efisiensi Penggunaan Lahan, Muzara'ah memastikan bahwa lahan tidak dibiarkan kosong atau tidak produktif. Tanah yang ditanami akan memberikan manfaat ekonomi bagi semua pihak yang terlibat.
Tantangan dalam Implementasi Muzara'ah
Meskipun muzara'ah menawarkan banyak manfaat, terdapat
beberapa tantangan dalam implementasi nya. Salah satunya adalah ketidakpastian
hasil panen yang dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor alam seperti cuaca atau
serangan hama. Selain itu, dalam beberapa kasus, ketidakjelasan dalam
perjanjian dapat menimbulkan sengketa antara pemilik tanah dan petani. Oleh
karena itu, sangat penting bagi kedua belah pihak untuk membuat perjanjian yang
jelas dan adil, serta memahami hak dan kewajiban masing-masing.
Penutup
Muzara'ah adalah salah satu bentuk kontrak dalam Islam yang mengatur kerjasama antara pemilik tanah dan petani dalam mengelola lahan pertanian. Dengan prinsip keadilan dan kerjasama yang menjadi dasar muzara'ah, praktik ini tidak hanya meningkatkan produktivitas pertanian tetapi juga mendukung pemberdayaan ekonomi dan pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan.
Sebagai bagian dari warisan hukum Islam, muzara'ah tetap relevan untuk
diterapkan dalam konteks pertanian modern, terutama dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan petani dan menjaga kelestarian lingkungan.
Daftar Pustaka
- Al-Zuhaily, Wahbah. Al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuhu. (Damaskus: Dar al-Fikr, 1984)
- Ibn Qudamah, Abdullah. Kitab Al-Mughni. (Riyadh: Dar 'Alam al-Kutub, 1997)
- Al-Kasani, Alauddin. Bada'i
al-Sana'i fi Tartib al-Shara'i. (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1986.)
- Nasution, Harun. Ensiklopedi Hukum Islam. (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2001)
Posting Komentar